Revolusi Dipapua

Gagasan revolusi
mental yang diluncurkan presiden terpilih Joko Widodo mendapat respons positif
dari berbagai kalangan, baik dari teknokrat, agamawan, maupun para pendidik.
Ide
revolusi mental bermula dari kegalauan yang dirasakan masyarakat di berbagai
ruang kehidupan. Antara lain, di jalan-jalan kota besar dan kecil serta di
ruang publik yang lain, termasuk media masa dan media sosial. Revolusi mental
harus segera dilakukan. Mengingat, pertama, gagalnya rezim Orde Baru
dalam melaksanakan pembangunan, yang belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam
rangka pembangunan bangsa (nation
building).
Kedua, tradisi
atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih
berlangsung hingga sekarang, mulai korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan
sifat kerakusan hingga sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.
Semua itu masih berlangsung dan beberapa di antaranya bahkan makin merajalela
di alam Indonesia yang terkenal ramah ini.
Meski
sangat sederhana, konsep yang ditawarkan Joko Widodo itu didasari oleh
pemikiran yang sangat fundamental, filosofis, dan empiris sehingga mampu
menyentuh akar persoalan. Pada kesempatan kali ini saya akan membahas tentang
pendidikan.
Pendidikan

Implementasi
pendidikan karakter tidak harus dikaitkan dengan anggaran. Dibutuhkan komitmen
dan integritas para pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk secara
sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai kehidupan di setiap pembelajaran.
Pendidikan karakter tidak sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang
salah, tetapi juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik.
Dengan begitu, peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang baik
dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik (loving the good/moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action), dan biasa melakukan (psikomotor).
Jadi, pendidikan karakter erat berkaitan dengan habit(kebiasaan)
yang dipraktikkan dan dilakukan.
Sedikit contoh persoalan yang
dialami salah satu daerah diindonesia. Papua, pulau yang menyimpan seribu
keindahan dan seribu kekayaan tapi juga menyimpan seribu konflik
berkepanjangan. Dalam konflik, bila kerugian semacam korban jiwa atau kerugian
materil seperti kerusakan bangunan dan lain-lain dapat dihitung besarannya,
sedangkan kerugian moril sulit untuk dihitung. Salah satu kerugian moril yang
sangat berat adalah timbulnya permasalahan yang saya namakan “lost generation”, atau
generasi yang hilang.
Lost
Generation adalah
anak-anak yang tumbuh ketika konflik berlangsung. Generasi ini tumbuh pada masa
konflik sehingga mengalami hal-hal yang tidak dialami oleh anak-anak pada
umumnya. Anak-anak ini dibesarkan oleh pahitnya konflik, karena dibesarkan oleh
situasi konflik maka mental yang tumbuh dari si anak adalah mental semasa konflik
ada kebencian, dendam dan kekerasan yang hadir dalam mental si anak. Selain
itu, konflik tidak hanya membuat kondisi anak yang terganggu tetapi kegiatan
belajar anak-anak juga terhambat. Anak-anak memperlihatkan gejala malas
belajar, tidak bersemangat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau tugas, tidak
konsentrasi dan kesulitan mengerjakan ulangan.
Konflik di Papua saat ini terus
berlangsung, melihat bagaimana pergerakan elite dari faksi politik OPM dan
faksi militer OPM yang terus berlomba menunjukan eksistensinya, saya pikir
konflik masih akan terus berlangsung, setelah beberapa dasawarsa terjadi.
Semakin panjang konflik terjadi, maka semakin panjang juga Lost Generation yang akan
muncul. Generasi yang penuh dengan amarah, generasi yang penuh dengan dendam
dan generasi yang penuh dengan kebencian. Hal yang menyedihkan adalah masa
depan Papua berada di tangan generasi ini, yang notabene merupakan generasi
saya dan teman-teman saya sendiri.
Revolusi Mental Dalam Pendidikan
Papua

“Anak-anak tingkat sekolah dasar
dijejali ilmu fisika, kimia dan sejenisnya. Harusnya porsinya dibalik. Fokus
dahulu pada bagaimana membangun karakter, akhlak, baru kita isi anak-anak kita
dengan ilmu-ilmu tadi.,” Kata Jokowi menjabarkan “Revolusi Mental” di sektor
pendidikan. Hal yang menarik adalah pembangunan karakter. Anak-anak Papua
membutuhkan hal ini, benar bila disebutkan Papua membutuhkan guru-guru atau
sekolah-sekolah tapi selain itu, yang menurut saya lebih penting adalah,
anak-anak Papua membutuhkan program pembangunan karakter yang solid, agar luka
akan konflik berkepanjangan bisa disembuhkan atau paling tidak diminimalisir,
sehingga ilmu-ilmu bisa masuk dengan mudah setelahnya.
Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia memiliki berbagai suku
dengan karakter yang begitu berbeda di setiap sukunya, pembangunan karakter
dalam Revolusi Mental di bidang pendidikan perlu memperhatikan keragaman
tersebut. Pembangunan karakter di Jawa berbeda dengan pembangunan karakter di
Kalimantan. Begitu juga Papua, pembangunan karakter di Papua harus sesuai dengan
kondisi Papua yang sedang dilanda konflik, sehingga Revolusi Mental bisa
sekaligus menjadi penawar dari penyakit Lost Generation yang
melanda pemuda-pemudi Papua.
Oleh sebab itu, pembangunan
karakter anak-anak Papua ini membutuhkan peran kepala suku dan Gereja sebagai
pihak yang sangat dominan dalam kehidupan sosial masyarakat Papua. Keberpihakan
kepala suku dan Gereja kepada pihak tertentu dalam konflik Papua harus
disingkirkan terlebih dahulu, untuk anak-anak Papua, untuk masa depan Papua.
kesimpulan
Seperti yang saya sebutkan di
atas bahwa, konflik di Papua kemungkinan masih terus berlanjut melihat
eksistensi faksi politik dan faksi militer OPM. Oleh karena itu, pemulihan
psikologis anak pasca konflik yang biasanya dianggap sebagai “Job After
War” tidak bisa ditunda sampai konflik Papua
selesai.
Akhirnya saya mengutip kalimat
Mahatma Gandhi sebagai berikut ““If we are to teach real peace in this world,
and if we are to carry on a real war against war, we shall have to begin with the children.” Mari sediakan ruang yang layak
bagi anak-anak Papua untuk tumbuh, jangan sertakan anak-anak Papua dalam
konflik ini.
Daftar Pusaka
Daftar Pusaka
http://www.jambiekspres.co.id/
http://www2.jawapos.com/baca/artikel/6669/revolusi-mental-dimulai-dari-pendidikan
Komentar
Posting Komentar